Eksistensi Bahasa Asing di Pesantren

Eksistensi Bahasa Asing di Pesantren

Wo Ai Ni, kata orang China. Ai shiteru, dalam bahasa Jepangnya. Dalam bahasa Inggris diucapkan: I Love you. Dan, Ana Uhibbu Ilaika, kata orang Arab. Itulah, sedikit rentetan contoh bahasa asing yang biasa kita dengar di film-film, buku, dan kitab kuning. Di zaman canggih yang ditandai dengan banyaknya alat-alat teknologi yang super hebat seperti iPhone, iPad, sampai kacamata sakti besutan Google yang wah canggihnya, seolah bisa merubah segalanya, menjadikan jarak tidak lagi menjadi masalah. Semuanya dapat terhubung melalui komunikasi berbahasa.

 

Indonesia adalah negara yang identik dengan ribuan pulau dan ribuan suku dan bahasa, mulai Sabang sampai Merauke tersebar luas ribuan bahasa daerah, namun tetap dalam kesatuan yaitu bahasa Indonesia, sesuai slogannya: Bhineka Tuggal Ika. Meskipun berbeda-beda suku, bahasa, agama, tetapi tetap satu kesatuan Negara Republik Indonesia.

Di era yang tak lagi memakai obor sebagai alat penerang ini, ribuan bahasa-bahasa daerah di indonesia hampir punah lantaran adanya bahasa Asing. Namun, di sisi positifnya, kita jadi tahu bahasa-bahasa asing tersebut. Bahasa asing yang menyebar lewat film, buku, dan alat-alat elektronik seperti bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Mandarin, Arab sering kita jumpai, terutama yang sedang nge-trend: bahasa Inggris dan Mandarin.

Di Indonesia sendiri, bahasa Mandarin banyak digemari untuk mempelajarinya karena dilandasi niat untuk  merubah ekonomi keluarganya dengan bekerja di negara-negara yang berbahasa Mandarin.

Yang tidak kalah nge-trend-nya adalah bahasa inggris. Hal ini disebabkan bahasa Inggris adalah bahasa Internasional atau bahasa dunia. DiIndonesia, bahasa Inggris sangat familiar didengar, sudah banyak orang yang menggunakannya sebagai komunikasi sehari-hari.  Bahkan, ada sebuah daerah di Pare, Kediri, yang mayoritas penduduknya sudah mahir berbahasa tersebut. Di sana banyak dibuka pusat pembelajaran Bahasa Inggris, seperti Mahesa Institute, dan yang paling terkenal BEC (Basic English Course) yang merupakan institute pertama di daerah tersebut.

Berbeda dari itu adalah Bahasa Arab. Bahasa Arab merupakan bahasa akhirat dan hanya dikenal di pesantren saja. Namun, bahasa Arab tidak kalah dengan bahasa Inggris karena di Indonesia ada juga kampung Arab yang terletak di kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya, tepatnya di Ampel, meskipun kecakapan berbahasa Arab penduduknya tidak menyeluruh seperti perkampungan bahasa Inggris di Pare, Kediri. Tempat pembelajaran bahasa Arab yang terkenal terletak di kota bordir Bangil yang dikenal juga dengan sebutan BANGKODIR (Bangil Kota Bordir), tepatnya Pasuruan, Jawa Timur.

Trendsetter bahasa asing di Indonesia tidak hanya digandrungi kalangan masyarakat yang berlatar belakang sekolah umum, tapi juga menular di kalangan kaum 'bersarung' pesantren. Anggapan masyarakat bahwa insan pesantren tidak cakap berbahasa asing ternyata tidak selamanya benar. Terbukti, sebelum masuknya bahasa asing seperti: Inggris, Mandarin, Jerman dan sebangsanya ngetren, kaum pesantren sudah jauh-jauh hari kenal dengan bahasa Arab, terutama pesantren salaf, karena setiap hari mereka mesti berkutat dengan kitab klasik yang memakai Arab gundul atau tanpa harokat.

Selain itu, pesantren yang dikenal terbelakang itu ternyata ada juga yang mahir bahasa Inggris, karena di pesantren merupakan tempat mengasah bakat anak-anak muda bangsa. Tidak hanya orang-orang berdasi yang mempunyai cita-cita belajar ke luar negeri, tapi kaum bersarung juga diajarkan untuk merantau ke negeri orang, seperti perkataan Imam Syafi'i: "Merantaulah ke negeri orang, karena mungkin di sanalah tempat yang cocok denganmu," dan dalam perkataan keduanya Imam Syafi'i melanjutkan: "Orang pintar tidak akan diam di tempatnya saja, karena ia ingin mencapai mimpinya. Sebagaimana  anak panah tidak akan mengenai sasaran bila tidak lepas landas dari busurnya, dan macan tidak akan mendapatkan mangsanya jika hanya berdiam.”

Dari perkataan Imam Syafi'i itu kita diajarkan agar merantau untuk mengembangkan ilmu kita, terutama kecakapan berbahasa asing tempat rantau yang akan kita tuju. Bahasa asing memang sangat penting saat ini, karena semuanya sudah serba berbahasa asing, seperti jika ingin mendapat beasiswa ke luar negeri harus bisa berbahasa Inggris. Mencari pekerjaan juga harus bisa berbahasa Inggris.

Di pesantren-pesantren tertentu, bahasa asing memang sangat benar-benar diterapkan, yang diaplikasikan dalam Lembaga Pengajaran Bahasa Asing (LPBA), dan selainnya. Eksistensi bahasa asing sangat kondang di tiap pesantren dan tidak hanya berbahasa Arab saja, tapi bahasa Inggris juga. Hal itu mendapatkan apresiasi dari DEPAG (Deparetemen Agama) seperti diadakannya kompetisi debat dengan memakai bahasa Inggris. Kompetisi tersebut pesertanya hanya dari kalangan pesantren saja, yang inti dari kompetisi tersebut, adalah untuk mengolaborasikan ajaran pesantren yaitu syariat yang dibawa nabi Muhammad Saw. dengan bahasa Inggris sebagai pengantarnya.

Pada umumnya, kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa pesantren hanya identik dengan bahasa Arab saja dan hanya bisa menembus ke negara-negara Timur Tengah yang biasa memakai bahasa Arab. Padahal, kenyataanya banyak dari kalangan santri yang bisa berbahasa asing dan terjun ke luar negeri dan tidak hanya negara-negara Timur Tengah saja, bahkan terbang mengelilingi dunia dengan sayap keilmuannya, seperti pengarang trilogi novel Negeri 5 Menara, A. Fuadi. Sebagai jebolan salah satu pesantren di jawa Timur, ia mampu menembus ke luar negeri, khususnya negara-negara yang lumrah bebahasa Inggris. Ia mampu menerobos ke beberapa negara barat lantaran ia bisa berbahasa asing yang diajarkan di masa-masa menjadi santri, tepatnya di Pesantren Gontor.

Itulah sekelumit kisah yang patut kita jadikan contoh untuk kita. Dan juga yang patut kita acungkan jempol adalah kepada mantan Presiden Republik Indonesia yang juga hasil didikan Pesantren yang mampu berbahasa asing. Beliau adalah Almarhum Almagfirah KH. Abdur Rahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur.

Nah, maka dari itu, kita sebagai kaum bersarung janganlah inferiorisme dari yang lain dan jangan hanya diam untuk bisa berbahasa asing, karena kita juga masih mempunyai kesempatan menjadi seperti mereka-meraka yang sudah bisa mengembangkan ilmunya sampai ke negeri orang. Namun, kita selaku santri dan generasi muda bangsa yang dikaruniai akan berlimpahnya kekayaan alam, jangan sampai pula mendeportasikan kitab-kitab Fiqh Almu'tabarah yang biasa diajarkan di pesantren-pesantren karena tradisi pesantren jangan didelet dan juga janganlah biarkan bahasa kesatuan kita, bahasa Indonesia punah lantaran adanya bahasa asing. Kita boleh berbahasa asing dengan tanpa meminimalisir semangat kita pada kitab-kitab kuning. Artinya, kita harus memadukan antara bahasa asing dan kitab kuning dan juga boleh berbahasa asing namun tanpa mengurangi sedikitpun kultur-kultur yang masih kental dalam budaya kita sebagai Warga Negara Indonesia yang mengeksistensikan budaya peninggalan nenek moyang. Wallahu 'alam.

 

M. Imamul Haromaini Hummaini

Santri Nurul Cholil,

Lulusan salah satu Institute Bahasa Inggris Pare, Kediri