Urgensi Ilmu Kalam

Urgensi Ilmu Kalam

Seperti yang umum kita ketahui, bahwasanya hukum mepelajari ilmu Kalam itu dipilah menjadi dua, pertama mempelajari ilmu kalam yang mengeluarkan dari status muqallid hukumnya adalah fardlu ‘ain, kedua mempelajari ilmu kalam melebihi standar nomor satu, sekiranya dia ahli dalam ilmu Kalam dan dapat melawan syubhat-syubhat aqidah yang disusupkan kedalam tubuh Islam, maka hukumnya adalah fardlu kifayah[1]. Dari kedua hukum mempelajari ilmu Kalam, sama-sama memiliki hukum wajib, akan tetapi hanya jangkauan dari kedua hukum wajib ini yang berbeda[2]

Di sekitar abad ke 6 Hijriyah ada sekolompok orang yang sering menghujat ilmu Kalam dan menggembar-gemborkan pahamnya dan mengatakan pengikut salaf. Apabila hanya mengaku pengikut salaf, semua orang dapat mengatakan dirinya pengikut salaf, akan tetapi pembuktian ilmiahlah yang menjadi acuan dari sebuah pengakuan.

Kelompok ini sering mengatakan bahwa ilmu Kalam bukan ajaran salaf, melainkan bersumber  dari para filsuf dan diadopsi oleh kaum muslimin, sehingga, ulama’ salaf sepakat untuk mencela ilmu ini. Tidak hanya itu, sekolompok orang ini sering menggunakan kata-kata ulama’ salaf untuk dijadikan propaganda tuduhan-tuduhan mereka terhadap ilmu Kalam.

Kata-kata ulama’ salaf yang digunakan propaganda oleh kelompok ini adalah kata-kata ulama’ yang notabene ulama’ panutan kita dalam beragama, sehingga bagi orang yang awam akan pengatahuan ilmu Kalam, ini merupakan hal yang sangat mengagetkan. Bagaimana tidak mengagetkan, ulama’-ulama’ yang selama ini kita jadikan panutan malah melarang bahkan mencela habis-habisan ilmu Kalam.

Propaganda dengan seolah-olah mencitrakan ulama’ salaf anti ilmu Kalam ini, dapat berhasil apabila diterima oleh orang awam yang belum mengetahui tentang ilmu Kalam. Akan tetapi, apakah perkataan ulama’ salaf ini benar-benar menjurus pada ilmu Kalam yang kita pelajari. Untuk membuktikan semua ini dibutuhkan kajian dengan bukti-bukti yang kongkrit.

Salah satu perkataan ulama’ yang dijadikan propaganda adalah perkataan imam Syaf’i tentang ilmu Kalam, dan perkataan ini dinukil oleh imam Nawawi[3].

وَقَدْ بَالَغَ إمَامُنَا الشَّافِعِيُّ رحمه الله تعالى:فِي تَحْرِيمِ الِاشْتِغَالِ بِعِلْمِ الْكَلَامِ أَشَدَّ مُبَالَغَةٍ، وَأَطْنَبَ فِي تَحْرِيمِهِ، وَتَغْلِيظِ الْعُقُوبَةِ لِمُتَعَاطِيهِ، وَتَقْبِيحِ فِعْلِهِ، وَتَعْظِيمِ الْإِثْمِ فِيهِ فَقَالَ: ” لَأَنْ يَلْقَى اللَّهُ الْعَبْدَ بِكُلِّ ذَنْبٍ مَا خَلَا الشِّرْكَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَلْقَاهُ بِشَيْءٍ مِنْ الْكَلَامِ “ØŒ وَأَلْفَاظُهُ بِهَذَا الْمَعْنَى كَثِيرَةٌ مَشْهُورَةٌ

“Imam kita Asy-Syafii telah sangat keras mengharamkan menyibukkan diri dengan ilmu kalam. Beliau sangat tegas dalam mengharamkannya, mengeraskan hukuman bagi orang yang simpati kepadanya, memperjelek perbuatannya, serta menyebutkan besar dosanya. Makanya beliau berkata: ‘Kalau seandainya Allah menemui seorang hamba dengan membawa dosa selain kesyirikan, itu lebih baik daripada menemuinya dengan sesuatu dari ilmu kalam’. Dan ungkapan-ungkapan beliau yang semakna dengan ini sangat banyak dan masyhur.”

Akan tetapi, opini yang coba dibangun oleh golongan sebelah ini tertolak, karena perkataan imam Syafi’i mempunyai latar belakang. Latar belakang imam Syafi’i berkata demikian, dikarenakan beliau berdebat dengan Hafs al-Fard[4] yang notabene salah satu aktivis ilmu Kalam dari kalangan Mu’tzilah.  Jadi apabila perkataan imam Syafi’i ini dijadikan hujjah untuk membuat pengikut as-Syafi’i banting setir dari ilmu Kalam, maka secara otomatis upaya untuk membangun opini imam Syafi’i alergi terhadap ilmu Kalam tertolak.

Selain perkataan imam Syafi’i diatas ada lagi perkataan beliau yang dibuat propaganda

حُكْمِي فِي أَهْلِ الْكَلَامِ أَنْ يُضْرَبُوا بِالْجَرِيدِ وَالنِّعَالِ , وَيُطَافُ بِهِمْ فِي الْقَبَائِلِ وَالْعَشَائِرِ , وَيُقَالُ هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلَامِ .

“Hukumku untuk ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah pohon dan alas kaki, kemudian diarak mengelilingi qabilah-qabilah dan diumumkan : ini adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan al-Qur’an, Hadits  dan menerima ilmu Kalam.”[5]

Perkataan diatas seakan-akan mencitrakan bahwa imam Syafi’i dicitrakan sebagai orang yang memposisikan ilmu Kalam sebagai ilmu yang menyimpang dari al-Qur’an dan Hadits. Tetapi imam Syaf’i pernah berkata:

وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ: سَمِعْتُ الْحُسَيْنَ بْنِ عَلٍّي يَقُوْلُ: قَالَ الشَّافِعِيْ: كُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَهُوِ الْجَدُّ، وَمَا سِوَاهُ فَهُوَ هَذْيَانٌ.

“Muhammad bin Isma’il berkata, saya mendengar Husain bin ‘Ali berkata, imam Syafi’i berkata: “ Tiap-tiap mutakallim yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits, maka dia mulia. Dan selain itu adalah orang yang mengigau.”[6]

Dari perkataan imam Syafi’i diatas, penggiringan opini bahwasanya imam kita as-Syafi’i alergi terhadap ilmu kalam, tidak terbukti, karena dengan bukti yang terakhir ini, imam Syafi’i secara sharih menjelaskan bahwasanya mutakallim[7] itu terbagi dua ada yang mulia dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits sedangkan mutakallim yang selain inilah yang beliau cela.

Telah disinggung diatas bahwasanya mereka yang mensesatkan ilmu Kalam menyatakan bahwa ulama’ salaf sudah sepakat dengan keharaman ilmu Kalam, berarti bukan hanya imam Syafi’I saja melainkan juga imam-imam yang lain. Tetapi mari kita buktikan apakah imam-imam yang lain juga alergi terhadap ilmu Kalam? 

Ada sebuah kisah menarik tentang Abu Hanifah. Diceritakan ada sekelompok Atheis yang datang pada khalifah al-Manshur, kedatangan mereka dengan niat untuk memberikan pertanyaan. Maka sang khalifah mengutus seorang utusan untuk datang kepada Abu Hanifah, setelah menyampaikan tujuannya itu, Abu Hanifah memerintahkan kepada utusan untuk berangkat lebih dahulu. Sang imam sengaja berangkat terlambat dan ini memang strategi Abu Hanifah. Setibanya di tempat diskusi al-Mansur bertanya pada Abu Hanifah “Mengapa engkau terlambat, padahal aku memerintahkan untuk cepat datang.”, maka Abu Hanifah menjawab dengan cerdas “Ketika utusanmu datang aku berjalan menuju sungai, aku tak menemukan perahu, aku sabar menunggu hingga berkumpullah beberapa kayu. Kemudian kayu-kayu itu terangkai dengan sendirinya. Setelah sudah terangkai datanglah paku dan memaku dengan sendirinya.   Kemudian saya menaiki perahu tersebut, perahu berjalan tanpa didayung.” Jawaban ini dilontarkan Abu Hanifah di depan orang-orang Atheis. Maka mereka tak terima berteriak-teriak seraya berkata “Perkataan ini tak masuk akal.” Maka sang imam kembali menjawab “Hai orang-orang bodoh, ketika ini tak masuk akal dikarenakan tak ada orang yang membuat, apakah langit, bumi dan bintang-bintang  tergambarkan wujudnya tanpa sang pencipta?”  Mendengar jawaban super cerdas ini, orang-orang Atheis terdiam.[8]

 


[1] Zain bin Ibrahim bin Sumaith, al-Tafrid, (Bekasi: Maktabah al-Khairat, t.t. ), hal.24

[2] Fardlu ‘ain menjangkau perorang, sedangkan fardlu kifayah apabila ada satu orang saja saja yang melaksanakan maka gugurlah kewajiban bagi orang yang lain.

[3] Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawiy, al-Majmu’ Syarh Muhaddzab, ( Maktabah Syamilah ), vol.1, hal.25

[4] Abu hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, (Beirut: Maktabah Dar al-Ma’rifah, t.t. ), vol1, hal.95

[5] Taqiyyu ad-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah al-harrani, Iqamatu ad-Dalil ‘ala Ibthali at-Tahlil, (Maktabah Syamilah ), vol.1,  hal.381

[6] Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman ad-Dzahabi , Tarikhu al-Islam, (Beirut: Maktabah Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t. ), vol14, hal.239

[7] Seorang yang menggeluti ilmu Kalam.

[8] Zain bin Ibrahim bin Sumaith, al-Tafrid, (Bekasi: Maktabah al-Khairat, t.t. ), hal.26