Keuatamaan Menghidupkan Malam Nisfus Sya'ban

Keuatamaan Menghidupkan Malam Nisfus Sya'ban

Dalam rangka menggapai seluruh keutamaan yang ada pada malam Nisfu Sya’ban (15 sya’ban), banyak sekali dari umat Islam tidak melewatkan kesempatan emas itu dengan menghidupkan malam tersebut melalui berbagai macam aktivitas ibadah kepada Allah SWT.

Adapun kebiasaan yang sering dilakukan masyarakat tradisioanlis adalah dengan cara berkumpul di mushalla atau masjid setelah salat maghrib. Secara berkelompok, mereka membaca surat Yasin sebanyak tiga kali dan diiringi dengan doa Nisfu Sya’ban di setiap akhir bacaan surat Yasin. Mengenai tata cara (kaifiyah) amaliah ini  dijelaskan secara terperinci dalam kitab Kanzunnajah Was Surur. Dalam kitab yang dikarang oleh Syech Abdul Hamid yang berasal dari Kudus tersebut, dipaparkan hendaknya bacaan surat Yasin pertama memohon agar diberikan umur panjang, bacaan surat Yasin kedua memohon agar terhindar dari segala macam bahaya, bacaan surat Yasin ketiga memohon agar tidak memiliki ketergantungan terhadap orang lain atau dalam versi lain diberikan kelancaran rizki. [1]

Yang menjadi tendensi hukum tradisi dan amliah tersebut adalah sebuah hadis yang menceritakan bahwa sayyidah ‘Aisyah pada suatu malam kehilangan Rasulullah SAW. Ia pun bergegas mencari Rasulullah SAw, dan ‘Aisyah menemukan suami tercintanya di Baqi’, nama komplek pemakaman bagi para sahabat Nabi dan para pejuang. Di tempat itu, Rasulullah SAW sedang menengadahkan wajahnya ke langit dengan mata sendu, terkadang pula meneteskan air mata. Mengetahui istrinya datang, Rasulullah SAW berkata:

إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَنْزِلُ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ مِنَ الذُّنُوبِ أَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ

“Apabila tiba malam Nisfu Sya’ban, Tuhan menurunkan (rahmatnya) ke langit dunia. Dan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang jauh lebih banyak dari jumlah bulu domba bani Kalb,” (HR. Turmudzi, Ahmad, dan Ibnu Majah). [2]

Menurut sumber informasi yang lain, Rasulullah SAW mengatakan;

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ

“Sesungguhnya Allah menampakkan diri pada malam Nisfu Sya’ban, dan mengampuni mereka yang meminta ampun dan menyayangi mereka yang ingin disayang, dan mengacuhkan mereka yang mendengki,”.

Dalam menyikapi tradisi salat-salat malam Nisfu Sya’ban para ulama masih berbeda pendapat. Adapun Imam an-Nawawi berkomentar bahwa hal tersebut termasuk Bid’ah Qobihahdan hadis yang dipakai menjai dasaradalah hadis Maudlu’ (palsu) . Namun berbeda lagi dengan Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin dan beberapa ulama lain yang mengatakan hal tersebut justru merupakan sebuah kesunnahan. Dalam silang pendapat ulama yang mengemuka ini, Al-Kurdi hadir dengan statemennya yang mengatakan bahwa perbedaan pendapat ini dipengaruhi atas dasar penilaian status hadis dari sisi sanad dan macam ritual yang disyariatkan pada malam Nisfu Sya’ban tersebut. [3]

Diakui ataupun tidak, selalu saja ada pengingkaran atas tradisi yang sudah menjamur di masyarakat. Namun, dengan menggunakan konsep dalil secara umum saja sudah mampu merobohkan pengingkaran dan segala tuduhan tersebut. Sedangkan, terkait dengan berbagai aktivitas ibadah seperti membaca al-Qur’an, salat sunah, istighfar dan semacamnya sudah dijelaskan oleh berbagai redaksi dalil yang masyhur baik itu dari al-Qur’an ataupun Hadis. Semuanya berlaku secara mutlak terkecuali pada waktu yang telah ada nash-nash pelarangannya.

Dan pada akhirnya dapat dipahami bahwa kegiatan keagamaan untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dan berbagai kegiatan lain yang bernilai ibadah merupakan perkara yang selaras dengan syariat.[]. waAllahu a’lam.

 


Refrensi :

[1] Kanzunnajah Was Surur, hlm 48, Maktabah Dar Al-Hawi.

[2] Faidl Al-Qodir, II/316.

[3] Hasyiyah I’anah At-Thalibin, I/312, Maktabah Darul Fikr.