Fatwa menikah

Fatwa menikah

Alkisah, suatu sore di akhir Ramadhan, beberapa orang ikhwan tampak sedang bercengkrama di teras masjid Baitul Hikmah, sambil menunggu waktu berbuka puasa. Mereka semua adalah para peserta Itikaf Ramadhan yang datang dari tempat yang berbeda-beda. Dan mereka kini terlibat pembicaraan serius tentang kegiatan dakwah di kampus masing-masing. Beberapa saat kemudian datang seorang ikhwan dengan tergesa-gesa, membawa suatu kabar.

“Assalamualaikum, ikhwan semua, antum sudah dengar fatwa terbaru dari Dewan Syariah, baru keluar pagi tadi lho!”

Dengan serempak mereka menjawab, “Waalaikum salam, fatwa terbaru tentang apa akhi? “

“Tentang menikah!”

“Menikah? Apa saja isi fatwa itu? “

“Isinya cuma satu pasal, tapi penting, bahwa mulai sekarang seorang ikhwan tidak boleh menikah dengan akhwat satu kampus.”

Semua ikhwan yang mendengar terkejut, dan saling memberi komentar satu sama yang lain.

“Apa alasannya akhi, bukankah hal itu tidak melanggar syariat?”

“Kok bisa begitu, lalu bagaimana dengan yang sudah terlanjur berproses, apa dibatalkan saja?”

“Saya kira ini untuk kepentingan perluasan dakwah juga…”

“Kalau saya memilih sami’nâ wa atha’nâ saja…”

Setelah beberapa saat terjadi tukar pendapat satu sama lain, akhirnya sang akhi yang datang membawa kabar tersebut dengan mimik serius menjelaskan: “Tenang akhi…, fatwa tersebut memang harus didukung dan ada dalilnya kok, bukankah Syariat Islam membatasi seorang ikhwan untuk menikah hanya sampai dengan empat orang akhwat, maka bagaimana mungkin seorang ikhwan mau menikah dengan “akhwat satu kampus” yang jumlahnya ratusan…!”