MODERASI BERAGAMA, Wasathiyah dalam Perspektif Al-Qur'an (Part 1)

MODERASI BERAGAMA, Wasathiyah dalam Perspektif Al-Qur'an (Part 1)

Bismillah. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah taala., yang menjadikan manusia sebagai khalifah di dunia. Dia memulai kehidupan dengan Nabi Adam As. sebagai bapak para manusia  dan Siti Hawa sebagai penyeimbang kehidupan Nabi Adam As.

 

Selawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi alam semesta. Beliau menjadi Nahkoda kita untuk selalu ada di jalan sang Pencipta, Pencipta umat yang wasathiyah.

 

Saat ini, memandang realita yang ada, tidak bisa dipungkiri bahwa kemerosotan moral sedang dialami. Hal ini ditandai dengan maraknya pemuda yang tidak tebang-pilih dalam mengadopsi budaya barat. Terlalu berlebihan dalam mengikuti perkembangan zaman merupakan alasan kedua. Ditambah dengan fenomena candu; candu game, ponsel pintar, dsb.

 

Bisa kita kerucutkan bahwa kemerosotan moral tersebut karena tiga peristiwa berbeda. Namun, jika lebih teliti melihatnya, hanya ada satu alasan, yaitu dimulai dari berlebihan dalam mengadopsi, mengikuti, dan mengonsumsi. Akar masalahnya adalah "Berlebihan".

 

Ini hanya satu problem yang disebabkan sikap "Berlebihan".

 

Dari problem ini, kita dituntut untuk mencarikan solusi. Tentu jika akar problemnya adalah "berlebihan", maka solusinya adalah "mengurangi", biar pas.

 

Tapi jangan sampai "berlebihan" dalam "mengurangi", karena akan "kurang". Dan akan muncul problem baru yang lebih besar.

 

Lah, kok bisa jadi problem?

 

Problem dalam konteks ini adalah munculnya ideologi radikalisme dan ekstremitas yang mengancam keamanan NKRI.

 

Kata kuncinya adalah "kurang dalam beragama", diingat, "kurang". Jadi, perspektif saya, munculnya ideologi pengancaman keutuhan NKRI, bukan berlebihan dalam beragama, melainkan "kurang" dalam beragama.

 

Dalam konteks ini, maksud saya adalah kurang dalam belajar ilmu agama. Oleh sebab itu, gampang terpengaruh propaganda yang berbau agama. Dikira semua yang dibungkus dengan agama berisi sesuai tuntunan agama.

 

Jadi, yang menjadi problem adalah "berlebihan" dan "kurang" dalam beragama, tentu solusinya adalah wasathiyah. Namun, wasathiyah yang seperti apa?

 

Mari kita lihat wasathiyah perspektif al-Qur'an.

 

Bahasa wasathiyah di al-Qur'an disinggung di beberapa surat. Namun, ada yang disebut tersurat dan ada juga secara implisit.

 

Seperti di surat QS. al-Baqarah ayat 143:

وَكَذٰلِكَ Ø¬ÙŽØ¹ÙŽÙ„ْنٰكُمْ Ø§ÙÙ…َّةً ÙˆÙ‘َسَطًا Ù„ِّتَكُوْنُوْا Ø´ÙÙ‡ÙŽØ¯ÙŽØ§Û¤Ø¡ÙŽ Ø¹ÙŽÙ„ÙŽÙ‰ Ø§Ù„نَّاسِ ÙˆÙŽÙŠÙŽÙƒÙÙˆÙ’Ù†ÙŽ Ø§Ù„رَّسُوْلُ Ø¹ÙŽÙ„َيْكُمْ Ø´ÙŽÙ‡ÙÙŠÙ’دًا Û— .

"Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu."(QS. al-Baqarah: 143)

 

Makna wasathiyah dalam Ayat QS. al-Baqarah: 143

 

Imam Nawawi Banten, dalam tafsirnya, menafsirkan bahasa "ummatan wasathan" dengan:

خيارا Ø¹Ø¯ÙˆÙ„ا Ù…مدوحين Ø¨Ø§Ù„علم ÙˆØ§Ù„عمل

 

"Umat pilihan, yang adil, dan dipuji karena ilmu dan amalnya" ( Murahu al-Labīd Likasyfi al-Qur'an al- Majīd. [Vol 1. Hal 49])

 

Dari sisi balagah (ilmu retorika [salah satu cabang dari ilmu Gramatika Arab]), diksi "wasathan" asal artinya adalah bagian tengah dari semua sisi. Tapi, kemudian diksi "wasathan" meminjam arti "sifat yang terpuji", yang kemudian disandingkan dengan diksi "ummatan". Dan peminjaman makna ini, dalam ilmu balagah diistilahkan "majāz isti'ārah".

 

Uraian dari sisi ilmu balagah ini saya kutip dari kitab Hadā'iqu ar-Rauhu war-Raihān, karya Syekh Amīn bin Abdullah al-Uramiyyi al-Alawiyyi al-Haririyyi as-Syafi'iyyi. (Vol 3. Hal 23. Cet: Dar al-Minhaj)

 

Jadi, melihat dari penjelasan di atas, makna "ummatan wasathan" adalah umat yang bersikap dan berpandangan tidak berlebihan, tidak ekstrem dan tidak radikal, QS. al-Baqarah: 143 yang dirujuk untuk pengertian umat di sini menjelaskan keunggulan umat Islam dibandingkan umat lain. Dalam hal apa saja?

 

Pertama Moderat dalam Hal Beragama

 

Umat Islam adalah umat yang di tengah, moderat idealis, umat yang tidak berlebihan dalam beragama—seperti umat Nasrani kepada Nabi Isa alaihi wassalam—dan tidak sampai sembrono—seperti umat Yahudi kepada nabi mereka.

 

Dalam konteks ini, dijelaskan secara implisit di surat QS. an-Nisâ’ ayat 171:

 

يٰٓاَهْلَ Ø§Ù„ْكِتٰبِ Ù„َا ØªÙŽØºÙ’لُوْا ÙÙÙŠÙ’ Ø¯ÙÙŠÙ’نِكُمْ ÙˆÙŽÙ„َا ØªÙŽÙ‚ُوْلُوْا Ø¹ÙŽÙ„ÙŽÙ‰ Ø§Ù„لّٰهِ Ø§ÙÙ„َّا Ø§Ù„ْحَقَّۗ.

  

"Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar."~(QS. an-Nisâ’: 171)

 

Penafsiran Ayat dari Sisi Kandungan dan Bahasa

 

Maksud "Ahlu al-kitab" adalah ahlul-Injil, yaitu umat Nasrani. Dan juga, ada yang mengatakan, maksud adalah dua kelompok, yaitu umat Nasrani dan Yahudi.

 

Keduanya merupakan representasi dari kelompok yang berlebihan dalam beragama. Umat Yahudi yang berlebihan dalam menghina Nabi Musa dengan mengatakan bahwa dia anak zina. Sedangkan umat Nasrani yang berlebihan dalam mengagungkan dengan menyatakan Nabi Musa sebagi anak Tuhan.

 

Jadi, berlebihan dan sembrono dalam beragama adalah tidak baik, atau bahkan tidak benar. ( Hadā'iqu ar-Rauhu war-Raihān. Vol 7. Hal 67. Cet: Dar al-Minhaj)

 

Dari sisi balagah, penyebutan diksi "Ahlu al-kitab" merupakan penyebutan secara umum, tapi yang dikehendaki adalah khusus.

 

"Ahlu al-kitab" adalah setiap umat yang berpegang teguh atau yang berpedoman pada suatu kitab. Dan kemudian arti ini dikhususkan kepada dua kelompok, Nasrani dan Yahudi, dzikrul-'ām wa irādatul-khash.

 

Dari sini, kita bisa mengambil pemahaman bahwa moderat dalam beragama adalah sebuah konsep yang penting untuk dikampanyekan. Karena, sangat efektif untuk mewujudkan kehidupan dinamis, adaptif, dan tidak kaku dalam beragama.

 

Dan, untuk memunculkan sifat moderat dalam beragama adalah dengan cara mendalami konsep agama itu sendiri. Semakin dalam ilmu agama seorang, maka dia akan semakin moderat. Karena, tidak ada agama yang mengajarkan untuk liberal atau radikal. Tentu liberal dalan konteks ini adalah liberal yang negatif.

 

Maka, jika ada orang radikal atau liberal, bisa bisa dipastikan orang tersebut tidak memahami secara dalam nilai-nilai yang terkandung dalam agama atau salah dalam memahami, sebagaimana lumrah terjadi akhir-akhir ini.

 

Kedua Moderat dalam Konteks Harta

Bersambung...

 

Penulis : Syifa'ul Qulub