Tujuh Diskursus Niat dalam Kajian Fiqh Klasik-Kontemporer
- Kamis, 11 Maret 2021 10:31:58
- NC Media
- 1485 views
Sebelum mengkaji mengenai "tujuh diskursus niat dalam kajian fikih klasik-kontemporer", akan lebih baik kita bahas dulu "niat" dari sisi bahasa.
Niat merupakan kata serapan dari bahasa Arab niyyatun (ٌنÙيَّة). Jika kita merujuk pada literatur gramatika Arab, maka kita akan menemukan bahwa kata niyyatun (ٌنÙيَّة) bukan bentuk asli, sudah berubah dari bentuk asalnya.
Aslinya seperti apa? Asal dari niyyatun (ٌنÙيَّة) adalah niuyatun (Ù†Ùوْيَةٌ).
Bagaimana proses bisa jadi niyyatun (ٌنÙيَّة)?
Begini prosesnya; jika ada huruf "wâwu" dan "yâ'" dalam satu kata dan salah satunya ada yang "sukûn", maka "wâwu"nya diganti "yâ'", menjadi niyyatun (ٌنÙيْيَة). Setelah itu, baru "yâ'" pertama di-idghâm-kan pada "yâ'" yang kedua. Terbentuklah niyyatun (ٌنÙيَّة).
Kemudian, bila kita merujuk pada KBBI, arti "niat" ada tiga:
1. adv maksud atau tujuan suatu perbuatan: mudah-mudahan - baik Anda terwujud
2. adv kehendak (keinginan dalam hati) akan melakukan sesuatu: - nya hendak berziarah ke Tanah Suci tahun ini sudah bulat
3. adv janji untuk melakukan sesuatu jika cita-cita atau harapan terkabul; kaul; nazar: janji ditepati, - harus dibayar; memasang -
Dari tiga arti yang ada di KBBI, semuanya tidak ada yang sesuai dengan arti "niat" yang dimaksud dalam konteks "niat" di kitab klasik.
Artinya, kita tidak bisa berpedoman dengan salah satu arti tersebut jika ingin mengkaitkan dengan aktivitas yang bernilai ibadah. Terus, mau ambil arti yang mana? Ya, harus merujuk pada literatur kitab klasik-kontemporer.
Mari kita kaji bersama...
Secara umum, diskursus niat dalam kajian fikih ada tujuh sisi, yaitu:
1. Hakikatnya;
2. Hukumnya;
3. Tempatnya;
4. Waktunya;
5. Caranya;
6. Syaratnya;
7. Dan tujuannya.
Mari kita kaji secara rinci satu persatu..
1. Hakikat Niat.
Niat secara etimologi berarti bermaksud, baik maksud yang bernilai baik atau buruk. Sedangkan secara istilah—istilah yang dipakai oleh ulama fiqih—adalah bermaksud sesuatu yang diiringi dengan implementasinya.
Contoh kasus, niat berwudu. Dalam kasus wudu, niat tersebut bisa kita sebut niat, jika seseorang sudah melaksanakan wudu. Kalau hanya sebatas ingin wudu, belum melaksanakannya, maka dalam kasus ini disebut "Azmun", hanya sebatas rencana.
Artinya, untuk bisa diistilahkan "niat", sebagaimana yang diistilahkan fukaha, maksud atau keinginan tersebut harus dilakukan. Baru, pas sudah diimplementasikan, bisa disebut "niat secara hakiki".
2. Hukum Berniat.
Berniat, secara umum, hukumnya wajib, kecuali dikasus-kasus tertentu. Misal yang tidak wajib, dikasus memandikan jenazah dan lainnya.
Contoh kasus, setiap individu yang ingin melakukan salat, misalnya, maka hukumnya wajib bagi dia berniat sebagaimana niat yang telah diatur dalam bab salat. Seperti apa kewajiban niat dalam bab salat?
Berniat dalam konteks salat, sebagaimana yang dijelaskan di kitab SafÄ«natun-NajÄ, karya Syekh Salim bin Abdullah, ada tiga kelas:
Pertama, kelas salat fardhu. Seperti salat duhur, misalnya, maka kewajiban niatnya ada tiga; qasdul-fi'li (اصلي), at-ta'yÄ«n (الظهر), dan niatul-fardhiyyah (Ùرض). Jadi, jika digabung, اصلي Ùرض الظهر. Kewajiban hanya tiga ini.
Kedua, kelas salat sunah yang memiliki waktu (waktu yang ditentukan oleh syari'at) atau memiliki sabab. Misalnya salat duha atau salat istisqa' (salat meminta hujan), maka kewajiban niatnya ada dua; qasdul-fi'li (اصلي), at-ta'yÄ«n (الضØÙ‰). Kewajibannya hanya dua ini.
Dan ketiga, salat sunah mutlak. Termasuk salat sunah mutlak adalah salat istikhârah. Maka, kewajiban niatnya hanya qasdul-fi'li (اصلي).
3. Tempat Berniat.
Semua pasti tahu bahwa tempat niat adalah di hati.
Contoh kasus, niat puasa. Namun, walaupun tempat niat di hati, disunahkan untuk mengucapkan niat. Hal ini agar lisan membantu proses niat di hati.
4. Waktu Berniat
Selain ibadah puasa, waktu berniat ada di awal ibadah.
Contoh kasus, niat mandi junub. Waktu niatnya adalah ketika pertama kali menyiram air ke anggota badan. Baik dari atas, tengah, ataupun dari bawah. Karena, anggota badan orang junub, dalam konteks mandi wajib, hukumnya sama seperti satu anggota badan.
Jadi, awal niatnya adalah waktu siraman pertama. Dan jika pada waktu siraman pertama tidak berniat, misalnya lupa, maka awal waktu niatnya adalah siraman kedua, ketiga, dan seterusnya.
Artinya, yang disebut awal siraman yang dianggap oleh syariat adalah siraman yang di dalamnya ada niatnya. Sehingga, anggota yang telah disiram namun namun di dalamnya tidak ada niatnya, maka harus diulang kembali.
5. Cara Berniat
Cara berniat berbeda-beda, sesuai dengan konteks dan bab masing-masing.
6. Syarat Niat
Syarat niat ada tujuh. Dalam konteks ini, insyaallah akan ditulis di kesempatan lain karena pembahasan cukup panjang. Jadi, perlu bab sendiri.
7. Tujuan Berniat
Tujuannya adalah membedakan antara aktivitas yang bernilai ibadah dengan aktivitas yang hanya tradisi, kebiasaan. Atau untuk membedakan antara kelas ibadah. Contoh kasus, membedakan mandi junub dan mandi biasa yang hanya untuk membersihkan badan.
Penulis: Nur Wahid
Referensi:
✓Muhammad Nawawi bin Umar Banten. 2002. Tausyîh alâ Ibnu Qâsim. Cet: Dar al-Kutub al-Islamiyah. Hal 33.
✓Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad Mahfudh. th. Faidlu al-Hajâ. PDF.
✓Muhammad bin Ali. 2007. Ghâyatu al-Munâ Syarhu SafÄ«natun-NajÄ. Tarim: Maktabah Tarim al-Haditsah al-Jumhuriyah al-Yamaniyah.