
Nikah Sunnah, Benarkah Ibadah?
- Kamis, 24 Februari 2022 14:30:06
- NC Media
- 423 views
Ada ujar-ujaran menarik yang seringkali didengungkan, dikampanyekan dan bahkan dijadikan sebagai alat oleh sebagian orang untuk melegitimasi tombak birahi, lebih parahnya lagi, ujaran itu kerap kali dijadikan orientasi pengukur kebenaran, kebaikan dan bahkan paling baik sebagai orang islam atau bahkan pengikut ajaran kanjeng Nabi saw., lalu, apa ujaran itu, kisanak.?
Ujaran itu tidak lain adalah sabda kanjeng agung Nabi saw., yang lebih kita kenal sebagai Hadits. “An nikahu sunnati, fâ mân raghiba an sunnati falaisa minni”, kurang lebih demikian bunyi dari potongan Hadits beliau. Sebagian orang kerap kali memaknai Hadits ini serampangan tanpa mau memahami kontekstual adanya sabda kanjeng agung Nabi saw., padahal jika kita mau sedikit mengutip dengan lengkap bunyi sabda beliau akan kita temukan sari pati dari sabda agung itu. Lalu bagaimana kronologi kontekstualnya.? Ternyata potongan sabda beliau itu menceritakan tiga sahabat beliau yang mengadu bahwa, salah satu dari sahabat itu ingin puasa seumur hidup, satunya lagi ingin tidak tidur seumur hidup, dan yang terakhir tidak ingin menikah, apa sebab yang melatar belakangi tiga sahabat ini bisa berkeinginan demikian?!, karena ketiganya ingin menghindari dunia demi menggapai kebahagiaan akhirat dengan hanya fokus beribadah pada Allah swt.. Hingga kemudian kanjeng Nabi saw. menegur ketiganya agar tidak demikian, apa sebab?, tentu karena duniawi yang menurut tiga sahabat beliau dianggap tidak baik justru baik menurut beliau sebagai alternatif mengontrol nafsu hayawani dan menjaga stabilitas tubuh agar bisa fokus dan kuat dalam mendekatkan diri pada sang Maha Dekat.
Maka, mula-mula yang sangat perlu untuk dimengerti adalah bagaimana memaknai sunnati atau sunnah dalam rangakaian sabda beliau. Baiklah!, dalam tatanan bahasa Arab seringkali ditemukan satu kosakata yang denotasinya mengarah pada kosakata lainnya, kata sunnah pada hakikatnya memiliki makna ‘gaya hidup’ atau ‘cara’ tapi kemudian bergeser makna menjadi ‘sesuatu yang mendapatkan nilai baik atau pahala bila dilakukan’ atau ‘perilaku-perilaku Nabi saw. yang secara otomatis dianggap bernilai pahala bila dilakukan atau ditiru’, makna kedua bisa kita terima jika memang hal itu ada tujuan mengikuti jejak beliau dalam suatu konteks yang sudah dianjurkan, tapi makna pertama (sesuatu yang mendapatkan nilai baik atau pahala bila dilakukan) rasanya kurang tepat sekali bila setiap teks Hadits yang terdapat kata sunnah-nya kita maknai demikian, apa sebab?, karena makna yang demikian ini sudah bukan lagi etimologi atau makna asli, tapi sudah menjadi terminologi atau istilah yang digunakan dalam hukum islam ‘fiqih’. Sampai di sini pahamkah, kisanak?!.
Baiklah!, mari kita coba pahami makna sabda agung beliau, “nikah itu sunnahku, barang siapa yang enggan dengan sunnahku maka ia bukan dari golonganku”. Andai dalam memaknai sunnah dengan ‘gaya hidup’ atau ‘cara’ bagaimana?. Baikalah mari coba, “nikah itu gaya hidupku atau caraku, barang siapa yang enggan dengan gaya hidup atau caraku maka ia bukan dari golonganku”. Bisa kita lihat perbedannya, bila masih ngotot ingin menggunakan makna pertama, maka akan mengesankan nikah itu memiliki hukum sunnah dan termasuk bagian ibadah, hingga yang tidak menikah akan dianggap tidak mau beribadah ala kanjeng Nabi saw.. Tapi, penulis lebih setuju menggunakan makna asli atau makna kedua dari terjemahan di atas ‘gaya hidup’, apa sebab?, karena memang menikah adalah gaya hidup yang dicontohkan oleh kanjeng agung Nabi saw. dalam menyalurkan syahwat dan bukan ibadah serta tidak akan menjadi ibadah kecuali disertai niat baik, seperti mengikuti jejak gaya hidup kanjeng Nabi saw., atau ingin menghindari zina dsb.
Walhasil, mari kita ubah pola pikir dalam memahami nikah bukan lagi ibadah jika tanpa niat baik, agar apa?, agar tidak merasa tertuntut dan menuntut orang lain untuk segera menikah sebelum kematangan luar dalam ‘intelektualitas serta moralitas’ kita memang benar-benar sudah cukup untuk melangkah pada ‘gaya hidup’ selanjutnya yang telah dicontohkan oleh kanjeng Nabi saw. Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidina wa nabiyina Muhammad. Sekian!
Penulis: M. Syafik