Menikah Dini atau Menikah Dewasa Nanti

Menikah Dini atau Menikah Dewasa Nanti

Menikah Dini atau Menikah Dewasa Nanti

Nikah merupakan salah satu ajaran yang penting dalam Islam, Begitu pentingnya ajaran pernikahan, Allah Swt. Sempat menyinggung dalam al-Quran secara spesifik, sebagaimana;

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَاب لَكُمْ مِنْ الْنِّسَاءَ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ [النساء:3]

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap  perempuan yang yatim , maka kawinilah wanita-wanita  yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka  seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’: 3)

Namun demikian, pembahasan kita kali ini bukan fokus pada pernikahan itu sendiri, akan tetapi pembahasan kita kali ini lebih pada, kapan sih waktu menikah itu; “nikah dini atau nikah saat dewasa nanti”?

Persoalan pernikahan dalam perspektif Islam, penulis tidak menemukan adanya pembatasan usia minimal pernikahan, akan tetapi justru adanya dalil yang memberikan indikasi kebolehan pernikahan pada usia dini. Di antara dalilnya adalah dalam QS At-Thalaq: 4:

وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Artinya: “Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Dalam ayat ini kita fokus pada potongan ayat:

وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ

Artinya: “Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid

Dari potongan ayat ini, sudah menunjukkan bahwa menikah dini hukumnya mubah. Terbukti jika kita melihat ayat setelahnya yang menjelaskan waktu idah bagi seorang yang tidak haid, seorang yang tidak haid bisa kita katakan adalah seorang yang masih dalam usia dini. Hukum mubah nikah dini ini bisa kita lihat juga bagaimana Sayidah Aisyah dinikahi Rasulullah  saat usia dini. Pernikahan penuh hikmah ini terjadi saat Sayyidah Aisyah usia 6/7 tahun,

Dari hal itu, kita harus bisa berfikir ulang, jika kita menggunakan dalil nikah dini menggunakan dalil Sayyidah Aisyah dinikahi Rasulullah saat usia dini, penting kita ingat, bahwa dalam pernikahannya terdapat tujuan khusus yang penuh hikmah dalam pernikahannya dengan Rasulullah, hikmah berupa pembelajaran (pendidikan) khusus, baik tentang kerumah tanggaan, tentang hukum kewanitaan.

Hikmah dari pernikahannya bisa kita cek melalui hadis nabi yang kita tahu mayoritas diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah. Kecerdasanya dalam menghafal apa yang disampaikan nabi, menjadikannya ia sebagai pusat rujukan pertanyaan para sahabat perempuan nabi dalam permasalahan hukum tentang kewanitaan.

Dalil kebolehan sudah ada. Selanjutnya yang harus tidak kita lupakan dari nikah dini adalah sisi kenegatifannya atau ke kemudaratan dari pernikahan dini itu sendiri.

Penting kita ketahui dan kita ingat bahwa pernyataan para ulama tentang bolehnya menikahi gadis dini bukan berarti kita boleh menggaulinya dalam hubungan suami-istri (hubungan seksual) di waktu usia dininya, bahkan ulama tidak memperbolehkan hal itu (hubungan suami istri) sampai ia cukup mampu melakukannya, sebagaimana kita ketahui Rasululla tidak menggauli Sayyidah Aisyah radhiyallah anha sampai ia mencapai waktu yang tepat, terbukti oleh sejarah bahwa nabi mulai berumah tangga dengan Sayyidah Aisyah saat ia berusia 9 tahun.

Agama melarang kita melakukan suatu yang membahayakan diri kita sendiri maupun orang lain, “la dhorara wala dhirara” begitulah bunyi hadis.

Agama mensyariatkan pernikahan untuk mencapai sebuah kemaslahatan, Namun, jika  dalam hal itu jika dikerjakan akan menimbulkan sebuah kemafsadatan, langkah sebaiknya kemaslahatan itu ditinggalkan, sebagaimana kaidah fiqh “daf’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-Masholih” (menolak sebuah kerusakan lebih dikedepankan dari pada mengambil maslahataan).  

Perempuan, tidak bisa kita pungkiri lagi akan peran pentingnya dalam hubungan rumah tangga, mulai urusan dapur, mencuci, merawat si bayi, semua itu lancar sebab otak dan peran dari perempuan. Setuju atau tidak, perempuan memang didesain untuk bisa melakukan semua itu. Di sisi lain, kondisi emosional perempuan kita tahu kadang cendrung tidak stabil, sebab hormon yang mempengaruhinya. Oleh sebab itu, dalam hubungan pernikahan juga sangat dibutuhkan seorang suami yang bisa memberi pengertian, agar terciptanya hubungan yang penuh keharmonisan.

Hubungan pernikahan itu seperti pondasi bangunan, jika pondasi itu terbangun kokoh, kuat, maka bangunannya (pernikahan) akan semakin kuat dan tidak mudah untuk runtuh, meskipun kerasnya angin dan besarnya badai menerpanya. Jika hubungan suami-istri kuat, maka akan bisa menahan dari berbegai masalah, baik itu masalah internal maupun eksternal.

Seorang laki-laki (suami) dalam al-Quran disebutkan, bahwa ia adalah seorang pemimpin dalam keluarganya, QS. an-Nisa: 34.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍوَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karna Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.

Walhasil. Oleh sebab hal itu semua, tentunya banyak yang harus kita pertimbangkan dalam pernikahan dini, seperti halnya sebuah kematangan seorang suami, baik secara kematangan agamanya, agar bisa mendidiknya, kekuatan mental, agar kuat menghadapi berbagai rintangan, finansial (ekonomi), supaya bisa memenuhi kebutuhan, dan lain sebagainya yang dibutuhkan dalam hubungan pernikahan, seperti cinta-kasih yang harus selalu ada agar bisa mewujudkan sebuah hubungan yang penuh keharmonisan. 

Oleh: Mishbahul Munir Masun