Status Genangan Air di Musim Hujan; Suci atau Najis?
- Selasa, 26 Juli 2022 04:47:14
- NC Media
- 2929 views
Status Genangan Air di Musim Hujan; Suci atau Najis?
Pertanyaan:
Hujan yang turun membasahi bumi merupakan salah satu anugerah besar yang diberikan oleh Tuhan. Tanah yang semula kering tanpa tumbuhan, akhirnya memunculkan berbagai macam rumput sebagai wujud keindahan pemandangan. Demikianlah tanda kebesaran-Nya yang sudah difirmankan (QS. Al-Baqarah; 164), sebagai bukti bagi mereka yang mau beriman, pun juga anugerah bagi mereka yang penuh kekufuran.
Namun, di balik nikmatnya hujan yang Tuhan berikan, ada sedikit tanya yang menghantui fikiran. Bagaimana tidak?! Jika air hujan yang begitu deras kerap kali menyisakan genangan, bahkan menyebabkan adanya lumpur jalanan, sehingga kadang menempel pada bagian bawah pakaian atau bahkan sampai terkena pada anggota badan. Lantas bagaimana status kesucian genangan air atau lumpur yang ada di jalanan? Dan najiskah pakaian atau badan yang terkena genangan air serta lumpur tersebut?
Jawaban:
Menyikapi permasalahan genangan air atau lumpur yang ada di jalanan, sebenarnya tidak lepas dari keadaan jalanan itu sendiri. Jika jalanan yang didapati ada genangan air atau lumpur itu memang terlihat ada barang najis, misalnya kotoran kambing di tengah-tengah genangan air tersebut, maka hal ini sudah pasti mengakibatkan genangan air tadi distatuskan najis atau mutanajjis (terkena atau bercampur najis). Karena standar yang digunakan adalah hukum dzâhirnya. (lihat Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Fiqhiyah al-Kubrâ, 1/26).
Sebaliknya, bila memang tidak terlihat ada najis di area genangan air atau lumpur tersebut, menurut fukaha, hal ini masih dirinci sebagaimana berikut:
Pertama, dalam keadaan meyakini bahwa genangan air atau lumpur yang ada di jalanan tersebut berstatus najis atau mutanajjis. Maka, dalam keadaan demikian, genangan air atau lumpur yang mengenai badan atau pakaian seseorang bisa dianggap najis yang di-ma’fu (najis yang masih bisa ditoleransi) dan sah digunakan untuk shalat bila memenuhi syarat-syarat berikut:
- Najis yang mencampuri genangan air atau lumpur tersebut sudah tidak bisa dibedakan, artinya genangan air atau lumpurnya harus benar-benar bercampur dengan barang najis;
- Genangan air atau lumpur yang di yakini najis hanya mengenai pada anggota tubuh atau pakaian bagian bawah, seperti telapak kaki hingga betis. Selebihnya, maka tetap tidak di-ma’fu;
- Situasi musimnya memang dalam keadaan musim hujan;
- Kesulitan untuk menghidar dari cipratan air atau lumpur, dan juga bukan dalam keadaan sembrono. (lihat: Said bin Muhammad Baalawi, Busyrâ al Karîm, 257).
Kedua, hanya meragukan atau menduga status kenajisan genangan air atau lumpur yang ada di jalanan tersebut. Maka, dalam keadaan demikian ini, status pakaian atau badan yang terkena cipratan air atau lumpur tersebut tetap dianggap suci, berlandaskan hukum ashlu, yaitu suci atau tidak terkena najis.
Walhasil, genangan air atau lumpur yang ada di jalanan pada dasarnya tetap berstatus suci selama tidak ada bukti kuat yang menyebabkan ketidaksucian pada air atau lumpur, seperti terdapat kotoran hewan dsb., atau selama tidak meyakini bahwa air atau lumpur itu berstatus najis.
Adapun air atau lumpur yang mengenai badan dan pakaian, statusnya menjadikan badan atau pakaian tersebut najis yang di-ma’fu, bila memang orangnya meyakini air atau lumpur tersebut najis serta dalam situasi memenuhi syarat yang sudah disebutkan di atas. Sebaliknya, bila tidak meyakini air atau lumpur itu dalam keadaan najis, maka status badan dan pakaiannya tetap suci. Sekian, Wallâhu A’lam!
- Referensi
Ibn Hajar al-Haitami, Al Fatâwâ al Fiqhiyah al Kubrâ;
Said bin Muhammad Baalawi, Busyrâ al Karîm.
Oleh: M. Syafiuddin.